Wednesday, July 11, 2012

Seberapa Terbuka Kita Terhadap Ide-ide Baru?

Sahdan menurut cerita, jas laki-laki yang umum dipakai saat ini pada awalnya ada buntutnya. Kemudian muncul seseorang dengan ide anehnya dimana ia mengenakan jas tanpa buntut. Sontak saja ia ditertawakan orang. Orang tersebut dipandang aneh, dipandang tidak mengikuti apa yang berlaku umum pada saat itu.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini adalah, betapa orang-orang atau masyarakat seringkali menunjukkan sikap resistensi atau penolakan terhadap hal-hal atau ide-ide baru. Tidak peduli sebagus apapun gagasan tersebut. Mengapa?

Penyebabnya adalah karena kita cenderung merasa aman dengan apa yang sudah biasa dan sudah mentradisi. Bila muncul gagasan untuk mencoba hal baru maka akan muncul semacam perasaan terancam. Kita menjadi takut.  Hal-hal yang sudah biasa memberi rasa aman dan kepastian. Sedangkan hal-hal baru menimbulkan tanda tanya dan ketidakpastian. Mengganti hal yang sudah berlaku atau biasa bisa menimbulkan rasa takut 'kualat' atau katakanlah 'pamali'. Seringkali orang-orang yang ditangannya ada otoritas untuk mengambil keputusan pun tidak berani begitu saja menerima ide atau gagasan baru. Seringkali ia mengatakan perlu berkonsultasi pada pihak-pihak yang lebih berkuasa dibandingkan dirinya jika hendak menerima gagasan baru.

Salah satu contoh yang paling jelas dari sikap penolakan orang terhadap kedatangan hal-hal baru adalah kisah kenabian Muhammad SAW. Ketika beliau menyatakan kenabiannya dan mewartakan Islam yang meng-esa-kan Allah, serta merta ia ditolak sebagian besar penduduk kota Mekah. Penolakan ini bukan karena gila atau tak masuk akalnya apa yang beliau ungkapkan, tetapi semata karena bertentangan dengan apa yang sudah berlaku dan menjadi kepercayaan masyarakat Mekah pada saat itu. Beliau kemudian dianggap gila, dianggap hendak melanggar dan meruntuhkan kepercayaan warisan para leluhur. Lebih jauh, beliau pun dimusuhi, dikucilkan, bahkan ada tindakan-tindakan yang mengarah pembunuhan beliau.

Masih banyak kisah-kisah lain tentang bagaimana sesuatu yang baru cenderung ditolak, dimusuhi dan dianggap sebagai ancaman. Semua menunjukkan bahwa kita sebagai manusia memang cenderung 'kolot', alergi terhadap perubahan, dan lebih senang dengan sesuatu yang tetap dan tak berubah. Masalahnya, bagaimana jika kita hanya mau mempertahankan yang lama dan tak mau menerima perubahan? Pastilah hidup ini akan stagnan, kaku, kurang warna dan membosankan. Kita butuh ide-ide baru. Kita butuh perubahan. Kita butuh disadarkan bahwa ada cara lain selain cara-cara yang selama ini kita gunakan yang kenyataannya lebih baik, lebih simple, lebih efisien, lebih efektif dan lebih benar. Inilah sesungguhnya dasar dari sikap inovatif, yaitu kemauan dan kecenderungan kita untuk terbuka terhadap perubahan dan mencoba hal baru. 

Jika kita senantiasa langsung menolak dan mengenyahkan ide-ide baru di sekitar kita, tak mungkin muncul inovasi. Ini juga berarti tak mungkin ada kreativitas. Kreativitas hanya mungkin muncul jika kita memberi kesempatan selebar-lebarnya pada orang lain untuk mengungkap ide-ide yang bisa saja ide-ide tersebut keluar dari kebiasaan atau cenderung mengubah apa yang sudah ada.

Kesimpulannya, jika menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik, lebih kaya, lebih semarak, maka harus siap dengan gagasan-gagasan baru. Hanya saja, seberapa terbuka kita terhadap ide-ide baru? Apakah kita akan mengapresiasi gagasan yang muncul betapapun menggelikannya ide tersebut atau akan bersikap menolaknya mentah-mentah seperti yang biasa dilakukan? Itu memang terpulang kepada diri kita masing-masing. Terutama sekali kepada mereka yang ditangannya ada otoritas untuk mengambil keputusan. Jika para pemegang jabatan memiliki wawasan yang luas dan bijak, tentulah ia akan bersikap terbuka. Sebaliknya, jika pemegang kewenangan lebih memilih sikap picik dan anti perubahan, niscaya yang terjadi adalah kemandegan. Dalam kehidupan bukan hanya intelektualitas saja yang penting, imajinasi juga sama pentingnya.

No comments:

Post a Comment