Dahulu kala hiduplah seorang raja. Raja ini kegemarannya adalah berburu. Sering ia pergi ke hutan di sekitar kerajaannya dengan membawa bala tentara dan para pembesar kerajaan untuk berburu.
Suatu hari ia memanggil penasehat kerajaan. "Penasehat, sudah lama kita tidak berburu. Bagaimana jika esok pagi kita pergi berburu lagi?"
"Daulat, Tuanku. Saya setuju. Saya juga sudah lama tidak jalan-jalan keluar kerajaan," jawab penasehat.
"Bagus kalau begitu!" kata baginda raja.
Maka esoknya raja dan penasehat, diiringi bala tentara kerajaan berangkat menuju hutan untuk melakukan perburuan.
Singkat cerita, setelah mereka berburu sekian jam lamanya dengan beberapa hewan hasil buruan, raja merasa lelah dan ingin beristirahat.
"Penasehat, kita istirahat dulu di sini," kata raja kepada penasehatnya.
"Baik, Tuanku," kata penasehat.
Maka mereka pun beristirahat di sebuah tempat yang teduh dan banyak pohon rindangnya. Mereka melepaskan lelah sambil membuka perbekalan yang mereka bawa dari kerajaan.
Di bawah pohon yang rindang dan hembusan angin sepoi-sepoi yang menyejukan, raja mengeluarkan buah apel kesukaannya. Dikeluarkan pula sebilah pisau untuk mengupas apel tersebut.
Ia pun mulai mengupas apel. Pisau itu begitu tajam. Entah karena ia begitu lelah setelah berburu atau entah karena mengupas apel sambil melamun, tanpa sengaja pisau yang dipakai sang raja mengupas apel mengenai salah satu jarinya. Saking tajamnya pisau tersebut menyebabkan jari kelingking tangan kirinya terputus. Si raja begitu kaget atas apa yang dialaminya.
"Astaga! Penasehat, lihat jariku terpotong! Penasehat cepat kemari!"
"Ada apa, Tuanku?!"
"Jariku, Penasehat! Jariku...!"
"Ada apa dengan jari Tuan?"
"Jariku terpotong pisau, Penasehat! Aduh, bagaimana ini. Jari kelingkingku hilang satu. Penasehat, bagaimana ini?!"
Tentu saja penasehat pun bingung dibuatnya. Apa yang bisa diperbuat? Sebagai penasehat tak ada yang bisa diperbuatnya atas kenyataan ini. Ia tak mungkin bisa menolong menyambungkan kembali jari kelingking raja yang sudah putus. Tetapi sebagai penasehat ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Itulah gunanya penasehat. Ia pun mulai berpikir. Tak ada yang lain selain bahwa ia harus menangkan raja atas peristiwa yang menimpanya.
"Tuan, ini memang sudah ketentuan yang tak bisa dihindari. Jari Tuan harus terputus satu. Tak apa, Tuan. Ambil saja sisi positifnya. Tuan kehilangan satu jari, tapi masih punya sembilan lagi, Tuan. Masih untung tidak semua jari terlepas," kata penasehat mencoba berbicara sebijak mungkin.
Mendengar kata-kata si penasehat yang mencoba menghibur, raja malah murka. "Kau ini, bukannya menolongku malah coba menghibur. Kau tak berguna! Pengawal, datang kemari dan tangkap si pensehat! Masukkan dia ke penjara!" Para pengawal tak bisa lain selain mematuhi perintah raja dan menangkap si penasihat.
Setelah itu mereka pun pulang ke kerajaan. Si penasihat, seperti titah raja, dimasukkan kedalam penjara.
Berhari-hari raja kelihatannya murung saja. Ia sangat menyesali apa yang menimpa dirinya. Ia malu oleh rakyatnya karena ia kehilangan salah satu kelingkingnya.
Beberapa waktu kemudian ia meminta para pengawal kerajaan untuk mencarikan penasihat baru baginya. Maka kemudian ia pun punya penasihat baru.
Suatu hari raja memanggil penasihat barunya. "Penasihat, sudah lama sekali saya tak berburu. Esok hari kita ke hutan untuk berburu," kata raja kepada penasihatnya.
"Daulat, Tuanku. Apapun kehendak Tuan, saya setuju," kata penasihat.
Maka esoknya mereka pun pergi ke hutan diiringi bala tentara.
Singkat cerita di dalam hutan saat perburuan, raja dan penasihat bergerak semakin jauh dan terpisah dari para pengawal. Mereka berdua terus maju sehingga sampai di suatu tempat yang dihuni suku primitif. Pada saat itulah raja dan penasihatnya ditangkap suku tersebut.
Ternyata suku tersebut suka mengorbankan manusia sebagai persembahan bagi dewa-dewa mereka. Demikianlah raja dan penasihatnya pun hendak dijadikan sebagai persembahan. Para korban biasanya dimandikan dengan bersih, didandani dan diberi harum-haruman, kemudian dipanggang di atas api.
Si penasihat mendapat giliran pertama untuk dimandikan dan dibersihkan. Setelah itu ia didandani dan tubuhnya diberi wangi-wangian. Kemudian ia diikat pada sebuah batang pohon. Batang pohon di mana si penasihat diikat ini kemudian diangkat dan diletakkan pada dua penyangga sehingga si korban tepat di atas tumpukan kayu bakar yang siap dinyalakan. Rakyat suku terbelakang ini menari-nari dan bernyanyi diiringi tabuhan genderang. Mereka begitu gembira karena akan segera mempersembahan korban bagi dewa-dewa mereka.
Giliran si raja digiring untuk dimandikan. Pada saat dimandikan itulah anggota suku primitif ini melihat bahwa calon korban yang kedua ini jari kelingkingnya kurang satu. Mereka lapor kepada kepala suku. Kepala suku memutuskan calon korban yang satu ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan persembahan. Maka si raja pun diusir dari kampung suku tersebut sambil dimaki-maki sebagai orang cacat dan tak pantas bagi persembahan kepada dewa-dewa mereka.
Singkat cerita si raja pun pulang ke kerajaannya tanpa si penasihat yang telah dijadikan korban oleh suku primitif. Ia disambut dengan penuh suka cita oleh sanak keluarga kerajanan karena raja akhirnya pulang dengan selamat. Mereka pun turut sedih dengan apa yang menimpa si pensihat.
Di kerajaan, raja ini termenung dan memikirkan kembali apa yang telah dialaminya. Berkali-kali ia menengok tangan kirinya yang tanpa jari kelingking. Ia pun berpikir, tangan yang tanpa jari kelingking inilah yang telah menyelamatkan hidupnya. Bayangkan jika jari kelingking tangan kirinya masih ada. Bayangkan jika dulu ia tidak mengalami peristiwa terpotongnya jari kelingking. Mungkin ia sekarang sudah mati sebagai korban suku promitif. Ah, benar apa kata si penasihat yang terdahulu. Ambil sisi baiknya. Ya, ambil hikmahnya. Kini aku bersyukur dulu aku mengalami kejadian itu. Demikianlah si raja bergumam di dalam hatinya.
Menyadari ini si raja pun memanggil pengawal. "Pengawal, keluarkan si penasihat yang terdahulu dari penjara. Bawa ia padaku!" titahnya.
"Baik Paduka!" kata si pengawal dengan sigap.
Tak lama kemudian si pensihat yang terdahulu telah berada di hadapan raja.
"Penasihat, ternyata benar apa yang kau katakan padaku dulu. Ketika aku kehilangan jari kelingkingku, kau mencoba menghiburku dan mengatakan untuk melihat peristiwa itu dari sisi positif. Ketika itu aku sangat marah dengan omonganmu. Pada saat itu aku sangat kecewa dan menyesali apa yang menimpaku. Kini aku sadar bahwa sesuatu yang kita anggap buruk, belum tentu membawa akibat yang benar-benar buruk dikemudian hari".
Kemudian si raja bercerita tentang bagaimana ia tertangkap oleh suku primitif pada saat berburu bersama penesihatnya yang baru. Ia juga bercerita bahwa mereka berdua hendak dijadikan korban persembahan bagi dewa-dewa suku tersebut. Ia bercerita tentang penasihatnya yang mati dipanggang, sementara ia sendiri selamat tak jadi dijadikan korban justru karena ia tak punya kelingking.
"Kau benar penasihat. Kita harus melihat apa yang menimpa diri kita dari sisi yang baik. Jangan hanya melihat negatifnya. Segala peristiwa memang ada hikmahnya. Kini aku ingin berterima kasih atas nasihatmu itu," demikian si raja berkata berkata pada penasihat.
Mendengar cerita yang dituturkan si raja, tiba-tiba si penasihat bersujud kepada raja dan berkata, "Tuan, hamba juga ingin berterimaksih pada tuan. Hamba berterima kasih karena tuan telah memasukkan hamba ke dalam penjara. Coba jika saya tidak tuan masukkan ke dalam penjara, pastilah hamba telah mati dijadikan korban persembahan suku primitif!"
Setelah itu mereka pun pulang ke kerajaan. Si penasihat, seperti titah raja, dimasukkan kedalam penjara.
Berhari-hari raja kelihatannya murung saja. Ia sangat menyesali apa yang menimpa dirinya. Ia malu oleh rakyatnya karena ia kehilangan salah satu kelingkingnya.
Beberapa waktu kemudian ia meminta para pengawal kerajaan untuk mencarikan penasihat baru baginya. Maka kemudian ia pun punya penasihat baru.
Suatu hari raja memanggil penasihat barunya. "Penasihat, sudah lama sekali saya tak berburu. Esok hari kita ke hutan untuk berburu," kata raja kepada penasihatnya.
"Daulat, Tuanku. Apapun kehendak Tuan, saya setuju," kata penasihat.
Maka esoknya mereka pun pergi ke hutan diiringi bala tentara.
Singkat cerita di dalam hutan saat perburuan, raja dan penasihat bergerak semakin jauh dan terpisah dari para pengawal. Mereka berdua terus maju sehingga sampai di suatu tempat yang dihuni suku primitif. Pada saat itulah raja dan penasihatnya ditangkap suku tersebut.
Ternyata suku tersebut suka mengorbankan manusia sebagai persembahan bagi dewa-dewa mereka. Demikianlah raja dan penasihatnya pun hendak dijadikan sebagai persembahan. Para korban biasanya dimandikan dengan bersih, didandani dan diberi harum-haruman, kemudian dipanggang di atas api.
Si penasihat mendapat giliran pertama untuk dimandikan dan dibersihkan. Setelah itu ia didandani dan tubuhnya diberi wangi-wangian. Kemudian ia diikat pada sebuah batang pohon. Batang pohon di mana si penasihat diikat ini kemudian diangkat dan diletakkan pada dua penyangga sehingga si korban tepat di atas tumpukan kayu bakar yang siap dinyalakan. Rakyat suku terbelakang ini menari-nari dan bernyanyi diiringi tabuhan genderang. Mereka begitu gembira karena akan segera mempersembahan korban bagi dewa-dewa mereka.
Giliran si raja digiring untuk dimandikan. Pada saat dimandikan itulah anggota suku primitif ini melihat bahwa calon korban yang kedua ini jari kelingkingnya kurang satu. Mereka lapor kepada kepala suku. Kepala suku memutuskan calon korban yang satu ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan persembahan. Maka si raja pun diusir dari kampung suku tersebut sambil dimaki-maki sebagai orang cacat dan tak pantas bagi persembahan kepada dewa-dewa mereka.
Singkat cerita si raja pun pulang ke kerajaannya tanpa si penasihat yang telah dijadikan korban oleh suku primitif. Ia disambut dengan penuh suka cita oleh sanak keluarga kerajanan karena raja akhirnya pulang dengan selamat. Mereka pun turut sedih dengan apa yang menimpa si pensihat.
Di kerajaan, raja ini termenung dan memikirkan kembali apa yang telah dialaminya. Berkali-kali ia menengok tangan kirinya yang tanpa jari kelingking. Ia pun berpikir, tangan yang tanpa jari kelingking inilah yang telah menyelamatkan hidupnya. Bayangkan jika jari kelingking tangan kirinya masih ada. Bayangkan jika dulu ia tidak mengalami peristiwa terpotongnya jari kelingking. Mungkin ia sekarang sudah mati sebagai korban suku promitif. Ah, benar apa kata si penasihat yang terdahulu. Ambil sisi baiknya. Ya, ambil hikmahnya. Kini aku bersyukur dulu aku mengalami kejadian itu. Demikianlah si raja bergumam di dalam hatinya.
Menyadari ini si raja pun memanggil pengawal. "Pengawal, keluarkan si penasihat yang terdahulu dari penjara. Bawa ia padaku!" titahnya.
"Baik Paduka!" kata si pengawal dengan sigap.
Tak lama kemudian si pensihat yang terdahulu telah berada di hadapan raja.
"Penasihat, ternyata benar apa yang kau katakan padaku dulu. Ketika aku kehilangan jari kelingkingku, kau mencoba menghiburku dan mengatakan untuk melihat peristiwa itu dari sisi positif. Ketika itu aku sangat marah dengan omonganmu. Pada saat itu aku sangat kecewa dan menyesali apa yang menimpaku. Kini aku sadar bahwa sesuatu yang kita anggap buruk, belum tentu membawa akibat yang benar-benar buruk dikemudian hari".
Kemudian si raja bercerita tentang bagaimana ia tertangkap oleh suku primitif pada saat berburu bersama penesihatnya yang baru. Ia juga bercerita bahwa mereka berdua hendak dijadikan korban persembahan bagi dewa-dewa suku tersebut. Ia bercerita tentang penasihatnya yang mati dipanggang, sementara ia sendiri selamat tak jadi dijadikan korban justru karena ia tak punya kelingking.
"Kau benar penasihat. Kita harus melihat apa yang menimpa diri kita dari sisi yang baik. Jangan hanya melihat negatifnya. Segala peristiwa memang ada hikmahnya. Kini aku ingin berterima kasih atas nasihatmu itu," demikian si raja berkata berkata pada penasihat.
Mendengar cerita yang dituturkan si raja, tiba-tiba si penasihat bersujud kepada raja dan berkata, "Tuan, hamba juga ingin berterimaksih pada tuan. Hamba berterima kasih karena tuan telah memasukkan hamba ke dalam penjara. Coba jika saya tidak tuan masukkan ke dalam penjara, pastilah hamba telah mati dijadikan korban persembahan suku primitif!"
No comments:
Post a Comment