Saturday, October 13, 2012

Perihal Ujian Nasional (UN), Mendikbud Tetap Ngotot

Tak habis dipikir, kenapa ya Pak Menteri Pendidikan, Mohammad Nuh, tetap keukeuh (bahasa sunda artinya: ngotot, tak mau berubah pendirian) melanjutkan Ujian Nasional yang bersifat menentukan kelulusan. Padahal begitu banyak orang yang meminta UN-nya Pak Nuh ini dihentikan. UN-nya Pak Nuh? Menurut saya, ya! Memang itu UN-nya pak Nuh kok. Pak Nuh lah yang menginginkan UN yang sekarang itu terus dilanjutkan. Maju terus pantang mundur. Apapun kata orang. Apapun keberatan-keberatan yang dilontarkan orang. Pak Menteri bergeming. Ia yakin benar bahwa ia benar. Salah seorang komentator di Kompas.com malah menyebut Pak Menteri yang satu ini aneh. Seharusnya, katanya, Pak Menteri lah yang mengerti kemauan rakyat. Eh, yang ini malah terbalik: rakyat yang harus mengerti kemauan Pak Menteri. Oalah, bingung! Siapa yang harus mengayomi siapa?! 

Apa ya yang ada di benak Pak Menteri? Dikabari masyarakat bahwa ada kecurangan dalam UN berupa bocornya jawaban soal-soal UN, enteng saja beliau berkata bahwa itu hanya soal persepsi. Ia, katanya, sudah ngecek ke lapangan dan tidak ditemukan bukti-bukti kecurangan (!). 

Ini adalah penggalan berita Kompas.com (Sabtu, 21 April 2012):

SURABAYA, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh memastikan tidak ada kebocoran soal pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini. Keyakinannya itu karena tidak ada fakta di lapangan yang membuktikan ada kebocoran kunci jawaban. Menurutnya, kebocoran soal hanyalah isu dan masih bersifat persepsi, karena setelah dikroscek oleh tim, ternyata itu tidak benar.

Begitu banyak orang berteriak-teriak soal kecurangan UN, tapi Pak Menteri tetap yakin tidak ada kebocoran! Salah seorang pembaca berita tersebut berkomentar, "Berarti pak mentri emang gak tau kondisi UN yang sebenarnya..". Pembaca yang lain berkomentar, "Persepsi...??? Heemmmm...DASAARRR tutup mata tutup telinga.."

Masih kurang komentarnya? Kita tambahkan satu lagi: 
"ini menterinya yg bebal atau laporan bawahan yg masih ABS. sebg alumnus ITS, aku malu dgn kinerja Prof Nuh. okelah kalo kebocoran dianggap masih persepsi, tapi kecurangan UNAS jelas nyata, Prof!"

Saya tak mengada-ada dengan kutipan-kutipan di atas. Jika Anda tak percaya, baca sendiri beritanya. Silakan klik penggalan berita Kompas.com di atas.

Sering kita dibuat kesal oleh pernyataan\-pernyataan para pejabat yang tidak menunjukkan kepekaan terhadap apa yang tengah terjadi di masyarakat. Seolah mereka tak memiliki sense of crisis. Mereka tenang-tenang saja. Ya, sambil berpikir bahwa segalanya baik-baik saja. Bahwa ada suara-suara miring atau sumbang, biasa lah itu omongan orang usil yang kurang kerjaan. Padahal saya yakin bahwa Pak Nuh bukankah orang bodoh. Saya juga yakin Pak Nuh beritikad baik untuk memajukan pendidikan Indonesia. Masalahnya, ia sedikit saja mau mendengarkan omongan dan masukan dari orang lain (atau jangan-jangan ini memang tifikal pejabat Indonesia? Selalu merasa benar sendiri). Atau Pak Nuh ini sedang membawa ide-idenya sendiri, aspirasinya sendiri? Wah kalau pejabat berlaku seperti itu, ...keliru, Pak!! Ya yang namanya pejabat harusnya ngemban amanat rakyat, membaca dan merealisasikan aspirasi rakyat. Bukan ambisi pribadi lho, Pak!

Bukan hanya soal kecurangan yang patut kita persoalkan di UN ini. Juga masalah kepantasan atau kelayakan. Atau apa ya namanya? Maksud saya, apa pantas untuk lulus SMP saja atau untuk lulus SMA saja harus melalui ujian yang begitu berat? Hanya untuk lulus SMP, SMA atau bahkan SD? Di negara-negara maju saja, yang pernah saya dengar, seperti di Amerika ataupun Australia, tak ada tuh ceritanya anak SMA tidak lulus. Bahkan katanya, tak ada ceritanya anak SD, SMP atau SMA yang tidak naik kelas (sebagai bahan perbandingan dan penambah wawasan, silakan baca artikel ini: Pendidikan Adalah Untuk Sukses Dalam Kehidupan di http://puzzleminds.com/pendidikan-adalah-untuk-sukses-dalam-kehidupan/). Lha di kita untuk lulus SD saja ujiannya begitu berat. Padahal jika dibandingkan dua negara tersebut, jelas pendidikan kita tertinggal jauh. Tapi mengapa kita menanggapi pendidikan dasar (SD - SMA) begitu serius? 

Jika memang kita menginginkan kualitas, perguruan tinggi lah tempatnya. Di situlah seharusnya kita berharap banyak. Soal SD sampai SMA biarkan saja mereka lulus dengan mudah. Memang apa yang kita harapkan dari lulusan SD, SMP, atau SMA? Pak Menteri ingin lulusan pendidikan dasar memiliki kualitas mumpuni? Untuk apa? Bapak tahu, jika lulusan SMA melamar kerja diterima di mana? Pabrik, Pak! (maaf bukan merendahkan). Jadi untuk apa nilai bagus? Atau pak Menteri ingin semua lulusan SMA ke perguruan tinggi (PT)? Weleh, repot..!

Lagipula, UN yang memberatkan ini - yang di dalamnya ada embel-embel harus dapat nilai sekian supaya lulus -  merupakan bentuk kekerasan terhadap anak. Atau bisa tidak dikatakan sebagai bentuk penyiksaan? Ya penyiksaan yang tidak perlu. Anak-anak bisa stress, tertekan, cemas, takut dan sebagainya. Orang tua mereka pun tak kalah cemasnya. Bahkan ada anak-anak yang bunuh diri segala gara-gara tidak lulus UN. Inikah hasil dari pendidikan? Harus sampai begitukah akibat dari pendidikan? Sungguh memilukan! Teramat menggenaskan! Mungkin anak itu merasa begitu malu tak lulus UN. Mungkin harga dirinya hancur melihat kenyataan yang lain lulus sementara ia sendiri gagal. Padahal jika dipikir-pikir, ia tak lulus bukan karena bodo, tapi karena kurang beruntung!(dm)


Penulis asli tulisan ini ada pada admin smppgrijatinangor.blogspot.com.
Copy paste (copas) silakan, tapi dimohon cantumkan sumber asli tulisan.

No comments:

Post a Comment