Akhirnya pemerintah melansir berapa sebenarnya anggaran yang dikeluarkan untuk kegiatan uji kompetensi guru (UKG). Melalui Sekretaris Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidik (Kepala BPSDMP-PMP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), pemerintah menyebut angka Rp50 miliar untuk penyelenggaraan UKG. Dari jumlah tersebut, unit cost untuk masing-masing guru peserta adalah Rp 50 ribu (sebelumnya dinyatakan Rp100 ribu untuk masing-masing peserta tapi kemudian diralat menjadi Rp 50 ribu). Jumlah guru peserta UKG adalah (kurang lebih) 1 juta orang. Dana yang Rp 50 miliar ini termasuk untuk membayar pengawas sebesar Rp 90 ribu per hari untuk delapan jam mengawas.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh, membantah jika kegiatan ini merupakan pemborosan dana negara. Ia berdalih bahwa suatu kegiatan tidak bisa dikatakan pemborosan hanya dengan melihat besar kecilnya dana yang dikeluarkan. Menurutnya, dana besar pun jika dipakai untuk tujuan yang jelas, yaitu yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Kemdikbud, tidak bisa dikatakan sebagai pemborosan. Ia mencontohkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang menyedot tliliunan rupiah tetapi tidak dikatakan sebagai pemborosan karena jelas urgensinya. Sebaliknya, dana sekecil apapun jika tak sesuai tupoksi Kemdikbud, katanya, akan dikatakan sebagai pemborosan. Oleh karenanya ia meminta kepada semua pihak untuk tidak cepat-cepat memberi cap pemborosan terhadap kegiatan UKG.
Baiklah, itu memang pernyataan resmi pemerintah yang berusaha memberi alasan dan pembenaran terhadap penyelenggaraan UKG. Kita tahu, pemerintah memang tak pernah kehabisan akal untuk berkelit atau untuk mencari sejuta alasan tentang mengapa sesuatu bersikeras dilakukan walaupun banyak suara-suara sumbang di sana sini.
Memang benar seperti apa yang dikatakan Mendikbud bahwa suatu kegiatan tidak bisa dikatakan pemborosan atau bukan hanya dengan melihat berapa dana yang terpakai.Yang menjadi masalah sebenarnya adalah - dan ini justru yang banyak dipertanyakan orang - apa urgensi dari UKG itu sendiri. Untuk apa sebenarnya UKG? Dari sinilah seharusnya kita bertitik tolak. Tak masalah UKG menelan biaya miliaran atau bahkan triliunan rupiah jika memang jelas urgensinya.Yang justru kita khawatirkan adalah UKG ini tidak jelas tujuan dan manfaatnya. Kita takut jika kegiatan tersebut hanya menjadi sesuatu yang mubazir, yang bersifat pemborosan dana semata, dan hanya jadi ajang mencari proyek bagi pihak-pihak tertentu.
Katakanlah UKG memang penting dilakukan sebagai cara untuk mengukur seberapa kompeten para tenaga pendidik di negeri ini. Tapi apakah akan berhenti sampai di situ? Setelah para guru menyelesaikan uji kompetensi dan hasilnya telah diperoleh, lantas apa? Jika hasil uji kompetensi guru ternyata mengecewakan, apa yang akan dilakukan Kemdikbud selanjutnya? Mengadakan pelatihan untuk guru yang dinyatakan tidak lulus? Berdasarkan hasil UKA (uji kompetensi awal) sebagian besar tenaga pendidik perolehan nilainya di bawah 70 (nilai 70 adalah angka minimal untuk dikatakan lulus). Berdasar pada kenyataan ini, pastilah sebagian besar guru harus mengikuti latihan lagi.
Marilah kita berpikir secara mendasar. Jika para guru diharuskan mengikuti pelatihan tambahan, entah sebulan, dua bulan atau bahkan enam bulan, maka menjadi mubazirlah segala pelatihan bahkan pendidikan yang telah diikuti sebelumnya. Kita tahu di program sertifikasi saja ada pelatihan. Selain itu para guru pun telah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi, entah jenjang S1 atau bahkan S2. Apa artinya pendidikan sekian tahun di PT jika kamudian harus mengkuti pelatihan pula?
Ini hanya semacam tinjauan kritis saja terhadap UKG. Hanya sebatas sumbang pemikiran. Lagi pula terhadap UKG ini, ingin kami tanyakan seberapa valid, seberapa sahih alat ukur atau alat tes yang digunakan. Siapa yang membuat soal? Apakah soal-soal itu telah diuji dan telah melewati penelitian yang ketat sehingga bisa dikatakan sebagai alat ukur yang handal untuk mengukur kompetensi seorang guru? Jangan sampai seorang guru dinyatakan tidak kompeten akibat alat tes atau soal-soal yang diragukan validitasnya.
No comments:
Post a Comment