Image di atas diambil (screenshot) dari Kompas.com pada bagian komentar pengunjung atas berita seputar kasus korupsi Hambalang. Kami screenshot karena tergelitik membaca dua komentar di atas.
Saya yakin, masing-masing kita pernah merasa heran menyaksikan orang-orang tertentu yang kita tahu statusnya tak lebih dari pegawai negeri sipil (PNS), tapi kok bisa memiliki kekayaan yang rasa-rasanya mustahil untuk ukuran PNS. Memang berapa gaji PNS?
Agak sulit menghadapi situasi seperti ini. Terutama bagi mereka-mereka yang berusaha tetap menjaga etika. Sulit untuk langsung mengatakan: "Wah jangan-jangan mereka korupsi?!" Banyak sekali pertimbangan moral yang mencegah kita sampai pada kesimpulan seperti itu. Pertama, kita diajari untuk tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Kedua, kita diajari untuk tidak iri apalagi dengki dengan rijki orang lain. Ketiga, mengapa harus mengurusi urusan orang? Urus saja urusan sendiri! Keempat, kita harus mengumpulkan bukti-bukti dari mana mereka mendapat kekayaannya. Mungkin mereka menjalankan bisnis selain sebagai PNS. Atau mereka dapat warisan. Atau mereka...apa lagi? Wah berusaha mengumpulkan bukti atau mencari tahu pun ada bahayanya. Nanti kita dibilang ingin tahu urusan orang.
Tak semua PNS yang punya mobil, punya rumah bagus, perlente dan sebagainya bisa dikatakan korupsi. Saya mengenal beberapa orang PNS yang karena dia dan istri/suaminya sama-sama PNS sehingga bisa kredit mobil keluaran terbaru. Saya yakin mereka tidak korupsi. Ada juga PNS yang istri/suaminya punya perusahaan, baik besar maupun kecil sehingga mampu membeli kendaraan. Ada yang orang tuanya kaya raya sehingga dia bisa hidup melebihi kemampuannya sebagai PNS. Ada yang mendapat warisan sehingga kaya mendadak. Dan sebagainya dan sebagainya.
Tapi saya juga tak memungkiri kenyataan adanya PNS yang kekayaannya menimbulkan tanda tanya besar. Terutama jika fakto-faktor yang disebutkan diatas: dua-duanya PNS, punya usaha, orang tuanya kaya, dapat warisan - tidak ada. Lalu dari mana mereka mendapatkan kekayaannya? Dengan cara bagaimana mereka mendapatkannya? Salahkah jika kita curiga? Saya yakin bahwa semua orang punya hati dan naluri. Dan hati manusia tak bisa dibohongi.
Gaya hidup merupakan tuntutan yang sulit ditolak dan diabaikan. Semua orang ingin kelihatan gagah dan megah. Ingin kelihatan perlente. Ingin kelihatan up to date. Ingin nampak sebagai the have. Ingin kelihatan kaya. Asesoris-asesoris modernitas seperti mobil mewah, laptop, PC tablet, HP keluaran terbaru, pakaian bermerk, tempat tinggal yang megah - harus didapatkan. Bagaimanapun caranya. Yang penting jangan terlihat kere.
Menjadi miskin atau terlihat miskin adalah aib. Menjadi miskin akan terpinggirkan. Menjadi miskin akan tersingkir dan tidak diperhitungkan. Bahkan tidak akan laku di pasaran pergaulan. Hampir semua orang tak sanggup bila harus menerima beban seperti ini: dianggap tak penting dan diabaikan.
Karenanya banyak yang memaksakan diri menggapai sesuatu yang melebihi kemampuanya. Ibarat katak hendak jadi lembu. Ibarat keledai hendak jadi kuda pacu. Haram dan halal menjadi panduan yang tak lagi perlu. Korupsi akhirnya menjadi pilihan yang masuk akal. Sebab jika tidak begitu, mana bisa mengikuti tuntuan jaman: gaya hidup meterialistis dan hedonis. Gaya hidup yang memuja kulit dan asesoris.
Kita harus memahami gaya hidup (atau tuntutan jaman) sebagai bagian penting dari korupsi. Yaitu sebagai penyebab. Sipat riya, pamer, dan haus akan pujian (tipikal bangsa kita) adalah merupakan akar korupsi di negeri ini. Tak terkecuali bagi para PNS. Banyak yang memaksakan diri mengejar status terlihat kaya dengan menghalalkan berbagai cara. Salah satu cara tersebut adalah korupsi.
Sebagai cara, korupsi itu banyak variantnya. Mungkin ia bernama 'proyek'. Mungkin juga 'usaha sampingan'. Mungkin ia bernama 'komisi', 'uang jasa', 'uang lelah', 'fee', 'uang dengar', dan sebagainya. Itulah sebabnya banyak PNS yang penampilannya mencurigakan. Karena mereka mengantongi kata-kata tersebut dalam kamus sakunya.
Penutup: Berprasangka buruk memang tak boleh, tapi bersikap kritis tetap harus. Korupsi di sekitar kita, terutama di kalangan para PNS, bukan lagi rahasia. Mungkin ia rahasia, tapi rahasia umum. Rahasia yang semua orang sudah mafhum. Kita juga harus memahami korupsi sebagai sebuah kewajaran - jika kita memandangnya dari segi tuntutan mengikuti selera jaman. Korupsi adalah konsekuensi logis bagi mereka yang kemampuan ekonominya pas-pasan tapi ingin ikut gaya hidup para taipan.(dm)
Gaya hidup merupakan tuntutan yang sulit ditolak dan diabaikan. Semua orang ingin kelihatan gagah dan megah. Ingin kelihatan perlente. Ingin kelihatan up to date. Ingin nampak sebagai the have. Ingin kelihatan kaya. Asesoris-asesoris modernitas seperti mobil mewah, laptop, PC tablet, HP keluaran terbaru, pakaian bermerk, tempat tinggal yang megah - harus didapatkan. Bagaimanapun caranya. Yang penting jangan terlihat kere.
Menjadi miskin atau terlihat miskin adalah aib. Menjadi miskin akan terpinggirkan. Menjadi miskin akan tersingkir dan tidak diperhitungkan. Bahkan tidak akan laku di pasaran pergaulan. Hampir semua orang tak sanggup bila harus menerima beban seperti ini: dianggap tak penting dan diabaikan.
Karenanya banyak yang memaksakan diri menggapai sesuatu yang melebihi kemampuanya. Ibarat katak hendak jadi lembu. Ibarat keledai hendak jadi kuda pacu. Haram dan halal menjadi panduan yang tak lagi perlu. Korupsi akhirnya menjadi pilihan yang masuk akal. Sebab jika tidak begitu, mana bisa mengikuti tuntuan jaman: gaya hidup meterialistis dan hedonis. Gaya hidup yang memuja kulit dan asesoris.
Kita harus memahami gaya hidup (atau tuntutan jaman) sebagai bagian penting dari korupsi. Yaitu sebagai penyebab. Sipat riya, pamer, dan haus akan pujian (tipikal bangsa kita) adalah merupakan akar korupsi di negeri ini. Tak terkecuali bagi para PNS. Banyak yang memaksakan diri mengejar status terlihat kaya dengan menghalalkan berbagai cara. Salah satu cara tersebut adalah korupsi.
Sebagai cara, korupsi itu banyak variantnya. Mungkin ia bernama 'proyek'. Mungkin juga 'usaha sampingan'. Mungkin ia bernama 'komisi', 'uang jasa', 'uang lelah', 'fee', 'uang dengar', dan sebagainya. Itulah sebabnya banyak PNS yang penampilannya mencurigakan. Karena mereka mengantongi kata-kata tersebut dalam kamus sakunya.
Penutup: Berprasangka buruk memang tak boleh, tapi bersikap kritis tetap harus. Korupsi di sekitar kita, terutama di kalangan para PNS, bukan lagi rahasia. Mungkin ia rahasia, tapi rahasia umum. Rahasia yang semua orang sudah mafhum. Kita juga harus memahami korupsi sebagai sebuah kewajaran - jika kita memandangnya dari segi tuntutan mengikuti selera jaman. Korupsi adalah konsekuensi logis bagi mereka yang kemampuan ekonominya pas-pasan tapi ingin ikut gaya hidup para taipan.(dm)
Penulis asli tulisan ini ada pada admin smppgrijatinangor.blogspot.com.
No comments:
Post a Comment